Jumat, Januari 23, 2009
Mantel Kuning
Mantel Kuning
Rinai hujan selalu membuat saya terharu. Rintiknya, mengingatkan pada masa-masa
yang telah lalu. Begitu pula hari ini.
Dulu, sewaktu kecil, saya ingin sekali punya mantel hujan. Kuning, itu warna
yang saya inginkan. Teman-teman saya yang lain telah memilikinya, dan mereka
tampak gagah dengan mantel itu. Untuk anak kelas 2 SD, semua yang berwarna
cerah, akan selalu tampak indah. Namun sayang, Ibu tak punya cukup uang untuk
membelinya. Walau sempat kecewa, saya harus menurut, dan menahan keinginan untuk
mempunyai mantel kuning itu.
Walau begitu, saya tetap kesal. Dan rasa itu memuncak ketika saya harus pulang
dari sekolah. Hari itu hujan begitu deras. Saya makin kecewa dengan Ibu. Sebab,
jika ada mantel, tentu saya tak perlu kena hujan, dan bisa bergabung bersama
teman-teman yang lain. Kesal, dan marah, begitulah yang saya rasakan saat itu.
Sementara yang lain tertawa dan menikmati hujan, saya harus berjalan pulang
dengan tubuh yang basah kuyup.
Ah..di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Ibu. Dia tampak membawakan payung
untuk saya. Karena terlanjur marah, saya tak menerima payung itu, dan ngambek,
untuk tetap pulang tanpa payung. Walau begitu, ia tampak ingin melindungi saya
dengan payungnya. Mendekap, agar saya tak terlalu basah terkena hujan. Hujan
makin deras, dan kami pun berjalan pulang, walau saya tetap ngambek dan menolak
untuk di payungi.
Sesampainya di rumah, tingkah itu terus saya perbuat. Saya tetap menolak untuk
berganti pakaian. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, hal itu saya selesaikan.
Ibu, kemudian datang dengan handuk, dan langsung menyelubungi saya dengan handuk
itu. Ada kehangatan yang segera menyergap. Saya menjadi lebih tenang. Tetap, tak
ada kata-kata yang keluar dari Ibu, selain terus menghangatkan saya dengan
handuk itu. Tangannya terus membersihkan setiap air hujan yang ada di badan.
Diseka nya kepala saya, agar tak nanti tak membuat sakit.
Masih dalam diam, Ibu kemudian memberikan pakaian ganti. Setelah itu, dia masih
menyodorkan teh manis hangat buat saya. Ya, segelas teh manis, sebab, susu
coklat, adalah hal yang jarang saya rasakan saat itu. Ya, kehangatan kembali
hadir dalam tubuh. Walau saya mungkin tak mengerti apapun, saya yakin, ada
kehangatan lain yang diberikan Ibu saat itu.
***
Ya, teman, begitulah. Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning
seperti yang saya impikan. Namun, payungnya telah membuat saya aman. Ibu mungkin
tak mampu membelikan saya mantel kuning untuk terhindar dari hujan, namun,
dekapannya membuat saya terhindar dari apapun.
Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning itu, namun, handuk hangatnya
melebihi setiap kehangatan yang mampu diberikan setiap mantel. Ibu mungkin tak
mampu membelikan mantel kuning, namun, usapan lembutnya, adalah segalanya buat
saya.
Ibu mungkin tak menjemput saya dengan mobil atau kendaraan lain, namun lingkaran
tangannya di tubuh saya, adalah dekapan yang paling indah. Ibu mungkin tak bisa
memberikan susu coklat, namun, teh manisnya, lebih berharga dari apapun. Ibu
mungkin tak bisa memberikan saya banyak hal lain, namun, dekapan, usapan, uluran
tangan, perhatian, kasih sayang, sudah cukup sebagai penggantinya.
Ya, rintik hujan selalu membuat saya terharu. Terima kasih buat Ibu yang tak
membelikan saya mantel kuning. Karena, apa yang telah diberikannya selama ini,
jauh melampaui semuanya.