peluang usaha

Sabtu, Februari 28, 2009

Arti Sahabat


PERSAHABATAN

Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang
melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan,
tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya...

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi
membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.

Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman
suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan,didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.

Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan
untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.

Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan
ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.

Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha
pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan
sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.

Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun
tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan,namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.

Beberapa hal seringkali menjadi penghancur persahabatan antara lain:

1. Masalah bisnis UUD (Ujung-Ujungnya Duit)
2. Ketidakterbukaan
3. Kehilangan kepercayaan
4. Perubahan perasaan antar lawan jenis
5. Ketidaksetiaan

Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinya.

(author unknown)

***

Sahabatku,

"Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri."

"Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita." Ingatlah kapan terakhir kali anda berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping anda?? Siapa yang mengasihi anda saat anda merasa tidak dicintai??

Siapa yang ingin bersama anda pada saat tiada satupun yang dapat anda berikan?? Merekalah sahabat-sahabat anda.

Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka. Karena seorang sahabat bisa lebih dekat dari pada saudara sendiri

Ah, saya jadi teringat sahabat-sahabat saya, sahabat di kampung, sahabat di pesantren, sahabat di SMU, sahababat di kampus, sahabat ngaji, sahabat perjuangan dakwah,.....Ah, Maha Suci Allah, Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengirimkanku sahabat-sahabat yang terbaik.....

Kamis, Februari 26, 2009

Monyet Terkuat


Monyet Terkuat

Di sebuah hutan, terdapat seekor monyet yang kuat dan ahli dalam memanjat. Suatu saat sang monyet memanjat pohon yang paling tinggi di hutan tersebut. Monyet itu akan mempelihatkan kekuatanya kepada banyak monyet yang sedang menatap dirinya.

Dengan cepat dan tangkas monyet itu memanjat pohon itu. Dari dahan ke dahan lainnya, monyet itu memanjat dan melompat dengan gerakan indah, hingga tidak membutuhkan waktu lama sang monyet untuk mencapai puncak pohon.

Dengan bangga sang monyet menepuk-nepuk dadanya, menunjukan bahwa dirinya adalah yang terhebat. Monyet-monyet lainnya pun berteriak-berteriak menunjukan bahwa mereka takjub dengan kemampunnya.

Pada saat itu juga, tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi galap dan mendung. Gemuruh langit terdengar, rintik-rintik hujan turun tak lama, langsung disusul lebatnya hujan badai. Para monyet belarian menuju sarang-sarang mereka untuk berteduh, kecuali satu monyet yang memanjat pohon, dia berpegang dengan erat batang pohon yang ia panjat. Menahan hujan badai yang terus saja menghantamnya, yang seolah-olah badai tersebut berusaha menjatuhkannya.

“Aku harus kuat, karna aku adalah monyet terkuat di hutan ini!” pikirnya sambil menahan kuatnya hembusan angin dan dinginnya hujan. Banyak pohon berjatuhan karena badai mematahkan batang-batangnya. Sang monyet beruntung karena berada di pohon yang tinggi dan kuat. Tak jarang sang monyet hampir jatuh karena pohon itu berayun-ayun dengan kuat, akan tetapi sang monyet sanggup bertahan.

Sejam telah berlalu, akhirnya badai reda. Cahaya matahari yang hangat mulai menyinari hutan kembali. Hewan-hewan pun sudah keluar dari sarangnya, termasuk para monyet yang keluar untuk melihat kondisi temannya yang sedang memanjat itu. Sungguh menajubkan, monyet itu masih bertahan di puncak pohon tertinggi tersebut.


“Ha ha ha, memang aku monyet terkuat di hutan ini. Hujan badai saja ta sanggup menjatuhkanku. Ha ha ha…” Pekiknya dengan bangga sambil menepuk-nepuk dadanya.

Tak lama kemudian, angin sepoy-sepoy berhembus dengan hembusan lembut. Hembusan tersebut menyentuh seluruh badan sang monyet dengan halus dengan sinar matahari yang hangat. Sang monyet merasa nyaman dengan angin sepoy-sepoy hangat itu. Terasa bagaikan angin dari surga, setelah satu jam lamanya menahan hantaman hujan badai.

Tak terasa, mata sang monyet mulai menyipit sedikit demi sedikit. Genggaman kuatnya tak tersasa mulai mengendur. Ototnya yang menegang, perlahan-lahan mulai melemah. Dan bisa ditebak, sang monyet itu langsung tertidur.

Tak lama kemudian sang monyet itu bangun, dengan badan penuh luka. Dia baru sadar bahwa dia terjatuh ketika ia tertidur diatas pohon. Dan yang paling menyakitkan adalah ternyata dia telah dijatuhkan dengan mudah oleh angin-angin sepoy-sepoy itu.

***

Teman, mungkin banyak dari diri kita ini merasa kuat dengan berbagai ujian dari Allah berupa kesempitan, kelaparan, kesusahan, seperti badai hujan yang selalu menimpa diri kita.

Akan tetapi banyak dari diri kita ini lemah dan tidak kuat terhadap ujian dari Allah berupa kesenangan, harta, jabatan, seperti hembusan angin sepoy-sepoy hangat yang melenakan, sehingga membuat kita tertidur. Dan tanpa sadar kita ternyata sudah terjatuh.

Teman, semua keadaan di muka bumi ini pada hakekatnya adalah sebuah ujian. Apakah kita kuat dan sabar ketika diberi musibah? Dan apakah kita terlena dan kufur ketika kita diberi nikmat?

Sungguh luar biasa umat mukmin itu, ketika di beri nikmat mereka bersyukur, dan ketika mereka diberikan cobaan mereka bersabar.

Jazakumullah khoir telah membaca. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

(cerita ini terinspirasi dari ceramahnya ust. Rahmat Abdullah dalam fim “Sang Murrabi”)

Senin, Februari 23, 2009

Tempayan Retak


Tempayan Retak

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, yang satunya tidak. Tempayan yang tidak retak selalu dapat membawa air penuh dari mata air ke rumah majikannya, sedang tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari yang seharusnya dapat diberikannnya. Tertekan oleh kegagalan ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air,"Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu.""Kenapa?" tanya si tukang air, "Kenapa kamu merasa malu?"

"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air karena retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacadku itu, saya telah membuatmu rugi." kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak dan berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Kata tukang air kepada tempayan retak, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan lain yang tidak retak itu. Itu karena aku selalu menyadari akan cacadmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu adanya, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

***

Teman, setiap dari kita memiliki cacad dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Di mata Allah yang Maha Bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan yakinlah kamu mempunyai kelebihan yang Allah anugerahkan kepadamu. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, justru terdapat kekuatan kita.

Sabtu, Februari 21, 2009

Wanita Buta.


Wanita Buta.


Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda dg tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dg tangannya yg lain di meraba posisi dimana sopir berada, dan membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke Dalam bus mencari-cari bangku yg kosong dg tangannya. Setelah yakin bangku yg dirabanya kosong, dia duduk. Meletakkan tasnya di atas pangkuan, dan satu tangannya masih memegang tongkat.

Satu tahun sudah, Yasmin, wanita muda itu, mengalami buta. Suatu kecelakaan telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya untuk selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala harapan dan cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yg penuh dg ambisi menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di sekolah, rumah maupun di linkungannya. Tiba-tiba saja semuanya sirna, begitu kecelakaan itu dialaminya. Kegelapan, frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti jiwanya. Hilang sudah masa depan yg selama ini dicita-citakan.

Merasa tak berguna dan tak ada seorang pun yg sanggup menolongnya selalu membisiki hatinya. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku?" dia menangis. Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak peduli sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun dia protes, sebanyak apapun dia berdo'a dan memohon, dia harus tahu, penglihatannya tak akan kembali.

Diantara frustrasi, depresi dan putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai suami yg begitu penyayang dan setia, Burhan. Burhan adalah seorang prajurit TNI biasa yg bekerja sebagai security di sebuah perusahaan. Dia mencintai Yasmin dg seluruh hatinya. Ketika mengetahui Yasmin kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak berkurang. Justru perhatiannya makin bertambah, ketika dilihatnya Yasmin tenggelam kedalam jurang keputus-asaan. Burhan ingin menolong mengembalikan rasa percaray diri Yasmin, seperti ketika Yasmin belum menjadi buta.

Burhan tahu, ini adalah perjuangan yg tidak gampang. Butuh extra waktu dan kesabaran yg tidak sedikit. Karena buta, Yasmin tidak bisa terus bekerja di perusahaannya. Dia berhenti dg terhormat. Burhan mendorongnya supaya belajar huruf Braile. Dg harapan, suatu saat bisa berguna untuk masa depan. Tapi bagaimana Yasmin bisa belajar? Sedangkan untuk pergi ke mana-mana saja selalu diantar Burhan? Dunia ini begitu gelap. Tak ada kesempatan sedikitpun untuk bisa melihat jalan. Dulu, sebelum menjadi buta, dia memang biasa naik bus ke tempat kerja dan ke mana saja sendirian. Tapi kini, ketika buta, apa sanggup dia naik bus sendirian? Berjalan sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa yg akan melindunginya ketika sendirian? Begitulah yg berkecamuk di dalam hati Yasmin yg putus asa. Tapi Burhan membimbing Jiwa Yasmin yg sedang frustasi dg sabar. Dia merelakan dirinya untuk mengantar Yasmin ke sekolah, di mana Yasmin musti belajar huruf Braile.

Dg sabar Burhan menuntun Yasmin menaiki bus kota menuju sekolah yg dituju. Dg Susah payah dan tertatih-tatih Yasmin melangkah bersama tongkatnya. Sementara Burhan berada di sampingnya. Selesai mengantar Yasmin dia menuju tempat dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan berminggu-minggu Burhan mengantar dan menjemput Yasmin. Lengkap dg seragam dinas security.

Tapi lama-kelamaan Burhan sadar, tak mungkin selamanya Yasmin harus diantar; pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Yasmin harus bisa mandiri, tak mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga punya pekerjaan yg harus dijalaninya. Dg hati-hati dia mengutarakan maksudnya, supaya Yasmin tak tersinggung dan merasa dibuang. Sebab Yasmin, bagaimanapun juga masih terpukul dg musibah yg dialaminya.

Seperti yg diramalkan Burhan, Yasmin histeris mendengar itu. Dia merasa dirinya kini benar-benar telah tercampakkan. "Saya buta, tak bisa melihat!" teriak Yasmin. "Bagaimana saya bisa tahu saya ada di mana? Kamu telah benar-benar meninggalkan saya." Burhan hancur hatinya mendengar itu. Tapi dia sadar apa yg musti dilakukan. Mau tak mau Yasmin musti terima. Musti mau menjadi wanita yg mandiri. Burhan tak melepas begitu saja Yasmin. Setiap pagi, dia mengantar Yasmin menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Yasmin akhirnya bisa berangkat sendiri ke halte. Berjalan dg tongkatnya. Burhan menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia berada.

Setelah dirasanya yakin bahwa Yasmin bisa pergi sendiri, dg tenang Burhan pergi ke tempat dinas. Sementara Yasmin merasa bersyukur bahwa selama ini dia mempunyai suami yg begitu setia dan sabar membimbingnya. Memang tak mungkin bagi Burhan untuk terus selalu menemani setiap saat ke manapun dia pergi. Tak mungkin juga selalu Diantar ke tempatnya belajar, sebab Burhan juga punya pekerjaan yg harus dilakoni. Dan dia adalah wanita yg dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada tantangan dan wanita yg tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi Yasmin yg dulu, yg tegar dan menyukai tantangan dan suka bekerja dan belajar. Hari-hari pun berlalu. Dan sudah beberapa minggu Yasmin menjalani rutinitasnya belajar, dg mengendarai bus kota sendirian.

Suatu hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, "saya sungguh iri padamu". Yasmin tidak yakin, kalau sopir itu bicara padanya. "Anda bicara pada saya?" " Ya", jawab sopir bus. "Saya benar-benar iri padamu". Yasmin kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana bisa di dunia ini, seorang buta, wanita buta, yg berjalan terseok-seok dg tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa hidupnya, membuat orang lain merasa iri? "Apa maksud anda?" Yasmin bertanya penuh keheranan pada sopir itu. "Kamu tahu," jawab sopir bus, "Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini, seorang lelaki muda dg seragam militer selalu berdiri di sebrang jalan. Dia memperhatikanmu dg harap-harap cemas ketika kamu menuruni tangga bus. Dan ketika kamu menyebrang jalan, dia perhatikan langkahmu dan bibirnya tersenyum puas begitu kamu telah melewati jalan itu. Begitu kamu masuk gedung sekolahmu, dia meniupkan ciumannya padamu, memberimu salut, dan pergi dari situ. Kamu sungguh wanita beruntung, ada yg memperhatikan dan melindungimu".

Air mata bahagia mengalir di pipi Yasmin. Walaupun dia tidak melihat orang tsb, dia yakin dan merasakan kehadiran Burhan di sana. Dia merasa begitu beruntung, sangat beruntung, bahwa Burhan telah memberinya sesuatu yg lebih berharga dari penglihatan. Sebuah pemberian yg tak perlu untuk dilihat; kasih sayang yg membawa cahaya, ketika dia berada dalam kegelapan.

***

Teman, kita ibarat orang buta. Yg diperintahkan bekerja dan berusaha Kita adalah orang buta. Yg diberi semangat untuk terus hidup dan bekerja Kita tak bisa melihat Tuhan dan malaikat.Tapi Dia terus membimbing Seperti cerita Dia memompa semangat kita Cemas dan khawatir dg langkah kita Dan tersenyum puas Melihat kita berhasil melewati ujian-Nya.

Jumat, Februari 20, 2009

Sebuah Batu Kecil


Sebuah Batu Kecil

Di suatu daerah pegunungan, sesosok pemuda sedang mempersiapkan bekal untuk perjalanan ke desa lain. Desa itu cukup jauh, harus melawati hutan-hutan dan gua. Pemuda itu hanya mampu membawa bekal untuk sekali perjalanan.

Saat pemuda itu memulai perjalanan, ia bertemu pengemis tua dengan pakaian penuh robek dan kumuh. Karena pemuda itu hanya mempunyai bekal secukupnya, dia pura-pura tidak melihat pegemis tua tersebut, dan berjalan melewatinya.

Tiba-tiba sang pengemis tua itu berkata, “Hai pemuda, ketika engkau melawati sebuah gua, ambil batu disekitarmu sebanyak-banyaknya!”

Pemuda itu cukup kaget, akan tetapi dia tetap tidak memperhatikannya, “alah, dasar pengemis, mau minta perhatian saja, paling dia mau minta sedekah.” Pikirnya.

Perjalanan pemuda itu dilanjutkan hingga hari sudah mulai malam. Ia pun harus mempercepat perjalanannya, karena dia harus melewati sebuah gua yang sangat gelap.

Ketika masuk ke dalam gua, ia teringat akan pesan pengemis tua. “ah, ngapain saya menuruti kata-kata pengemis tua itu!, lagian juga ngapain saya harus membawa batu-batu di gua ini, menambah beban saya aja, mungkin pengemis itu sudah gila kali” keluhnya. Pemuda itu berjalan sambil meraba-raba karena gelapnya gua itu.

Sesaat kemudian di berfikir kembali, “Mungkin ada benarnya kata pengemis tua itu…” ia mulai penasaran dengan pesan pengemis tadi. Pemuda itupun mengambil sebuah batu kecil dan dimasukan ke saku celana.

Perjalanan panjang telah ia lalui, setelah melewati gua, ia mengarungi lembah, melewati gunung, hingga ta terasa bekal habis. Ia memaksa berjalan, walau perut kelaparan.

Akhirnya ia sampai juga di desa tujuannya, dan langsung ambruk tertidur di bawah sebuah pohon. Ia tertidur pulas. Tak lama kemudian, disaat berganti posisi, ia bangun, terasa ada yang mengganjal di celananya. “Ah, dasar bodohnya aku ini, aku membawa kemana-mana batu kecil tak berguna ini, menuruti kata-kata pengemis gila itu! Ku buang aja!” katanya dengan kesal.

Ketika akan membuang batu itu, terlihat batu itu berkilauan, memantulkan cahaya. Mata pemuda itu langsung terbelalak. “hah….., batu ini emas!” matanya melototi batu yang dipegangnya.

“ah…., andaikan saja……”

***

Teman, penyesalan memang terasa setelah kejadian telah berlalu. Seberapa sering diri kita ini membiarkan dan cuek terhadap pesan, nasehat, saran, kritik, dari orang tua kita, guru-guru kita, teman-teman kita, bahkan orang asing yang selalu kita anggap hanya omong kosong belaka. Kita sombong terhadap nasehat-nasehat itu. Nasehat yang mana kita baru sadar bahwa ternyata pesan, nasehat, kritik, orang-orang terdekat kita itu akan membawa kita ke gudang emas kesuksesan. Akan tetapi kita mengabaikannya. Kita merasa tidak butuh oleh nasehat orang lain. Dan waktu tidak akan bisa kembali, kita hanya bisa menyesalinya.

Allah telah mengirimkan kita penasehat-penasehat melalui Nabi dan Rosul-Nya. Dan di teruskan kepada para ulama, dalam menyampaikan pesan-pesan yang akan membawa kita ke surga. Tapi, mengapa kita masih saja mengabaikannya? Ataukah kita berharap akan menyesalinya di hari kemudian?

Rabu, Februari 18, 2009

Sesendok Madu


Seendok Madu

Saya teringat carita dari Andre Wongso, salah satu trainer Indonesia. Kisah tentang sesendok madu, maaf kalo di modifikasi.

Suatu saat, seorang raja kerajaan besar mengeluh kepada penasehatnya tentang rakyatnya.

"Penasehatku, apakah benar rakyatku sekarang sudah tidak patuh lagi kepadaku?" tanya sang Raja.

"Wahai raja, mohon maaf saya tidak tahu permasalahan itu. Akan tetapi saya bisa mengujinya, supaya raja tau apakah rakyat anda patuh dengan perintah anda atau tidak." kata penasehat raja.

"Ujian? Baiklah,saya percaya kepadamu, semua kuserahkan kepadamu!" perintah sang raja.

Penasehat raja kemudian memerintahkan seluruh rakyatnya agar menyumbang sesendok madu dengan membawanya di tengah malam ke sebuah tempat. Tempat tersebut terdapat gentong besar untuk menampung madu-madu tersebut.

Salah seorang mengeluh dengan perintah sang raja. Dia merasa berat untuk menyumbang sesendok madu. Kemudian di berencana akan membawa sesendok air. "aku yakin tidak akan ketahuan oleh pengawal jika aku membawa air karena tempatnya cukup gelap, lagian toh hanya sesendok air saja." pikirnya.

Kemudaian disaat malam gulita, berbondong-bondong orang membawa sendok, satu persatu orang mengisi gentong besar yang disediakan oleh penasehat raja, hingga gentong itu penuh.

Saat matahari terbit, penasehat raja datang untuk memeriksa gentong madu tersebut. Tiba-tiba sang penasehat raja kaget, ternyata gentong tersebut hanya berisikan air.

***

Teman, sering keegoisan kita muncul dalam diri kita. Kita kadang berfikir, "ah, buat apa repot-repot malakukan itu, pasti ada orang lain yang melakukannya." Seperti dalam cerita tersebut, mereka merasa hanya dia saja yang hanya membawa sesendok air. Ternyata mereka semua membawa seseondok air.

Bayangkan jika semua orang lebih memilih egonya masing-masing, bangsa ini saya yakin tidak akan maju. Tidak ada lagi kepedulian dengan permasalahan bangsa. Tidak ada lagi yang peduli dengan permasalahan ummat.

Sebaliknya ketika semua orang berfikir, Mulai dari diri sendiri, mualai dari yang terkecil, dan mulai sekarang juga untuk memperbaiki bangsa, saya yakin bangsa yang maju dan beriman akan terwujud. Insya Allah.

Selasa, Februari 17, 2009

Bubuk Kopi


Bubuk Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang.Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya,

"Apa yang kau lihat, nak?"

"Wortel, telur, dan kopi" jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya,

"Apa arti semua ini, Ayah?"

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.
"Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya. "Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?"

Bagaimana dengan kamu?

Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku? Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin
nikmat.

Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan
menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

***

Teman, sesungguhnya Allah memberikan suatu cobaan kepada kita adalah sesuai dengan kemampuan diri kita. Tinggal bagaimana diri kita mensikapi ujian-ujian dalam kehidupan. Apakah dengan berbagai ujian tersebut akan menjadikan kita lebih tangguh dalam menjalani kehidupan. Atau sebaliknya, membuat diri kita lemah dan kaku dalam mengarungi kehidupan ini?

tinggal Hadapi, Hayati, dan Nikmati, ketika masalah datang menghampiri kita. Insya Allah kita akan seperti kopi, yakni menjadikan diri kita semakin baik dan membuat keadaan di sekitar kita juga membaik.

Senin, Februari 16, 2009

Anak Kecil


Anak Kecil

Suatu ketika terlihat dua anak kecil kakak beradik sedang berebut sebuah mainan di depan teras rumah. Mereka memperebutkan sebuah mainan robot-robotan.

“Mainan ini miliku!” kata anak itu sanbil menarik mainan robot yang di pegang adiknya.

“Adik pinjam sebentar!” kata sang adik sambil memegang mainan tersebut.

“Ga boleh, kakak mau main!” kata sang kakak. Karena tidak sabar, sang kakak mulai memukul kepala sang adik.

“Waaaaaaaaaaa, kakak jahat, kakak jahat!” sang adik menangis dan berlari menuju ibunya. Sang Ibu terlihat berusaha mendiamkan dengan mencarikan mainan pengganti.

Tak lama kemudian, sang adik mendekati kakaknya, dan memamerkan mainan barunya kepada kakaknya.

“Mainanku lebih bagus!” dengan bangga sang adik berbicara kepada kakaknya.

“Ah, biasa aja! Yuk main bareng!” ajak sang kakak kepada adiknya.

Kemudian sang adik bermain bersama kakaknya kembali dengan canda dan tawa. Sang adik melupakan rasa sakitnya karena dipukul oleh kakaknya tadi.

***

Teman, seharusnya kita malu kepada sikap anak-anak kecil. Mereka mudah sekali melupakan dan memaafkan kesalahan saudaranya sendiri. Tidak butuh waktu lama mereka untuk akur kembali. Bahkan mereka tidak membutuhkan kata maaf dari saudaranya.

Sungguh beda dengan diri kita. Berat sekali kita memaafkan kesalahan seseorang. Jangankan yang belum meminta maaf, yang sudah meminta maafpun kita merasa berat untuk memberikan kata maaf. Bahkan kita enggan menatap wajahnya. Memendam kemarahan hingga bertahun-tahun. Tanpa sadar kita telah memendam banyak bara amarah dalam diri kita.

Belajarlah utuk mudah memaafkan orang lain. Lupakanlah kesalahan mereka, dan sebaliknya ingatlah selalu jasa mereka. Buanglah bara-bara amarah dalam diri kita ini dengan pemberian maaf yang tulus dan ikhlas. Bahkan ketika mereka belum meminta maaf kepada kita.

Yakinlah, suatu saat anda akan terkejut, bahwa hidup ini ternyata sungguh jauh lebih indah dari biasanya, Insya Allah.

Sabtu, Februari 14, 2009

Tukang Tambal Ban


Tukang Tambal Ban

Pernah suatu ketika ban motor saya kempes sepulang dari liqo kajian rutin pekanan. Saat itu waktu menunjukan pukul setengah sebelas malam. Malam terasa begitu dingin sekali, karena saat itu musim hujan, akan tetapi segala puji bagi Allah saat itu hujan tidak turun.

Sambil menuntun sepeda motor, saya berjalan menulusuri jalan untuk mencari tukang tambal ban.

“Ada apa mas?” tanya seorang pemuda yang duduk-duduk di depan rumah.

“Ban saya bocor. Daerah sini mana ya, tukang tambal ban yang masih buka?” tanya saya.

“ Wah sudah pada tutup semua mas! Adanya di dekat jalan raya, tapi cukup jauh!” jawab nya.

“Makasih mas!” ucapku, sambil menghela nafas, karena cukup jauh saya harus bejalan ke jalan raya.

Alhamdulillah, saat itu saya ditemani murrobi (ustadz) saya, untuk berjalan menelusuri malam untuk mencari tukang tambal ban. Setengah jam berjalan akhirnya saya menemukan tukang tambal ban. Alhamdulillah.

Kemudian saya merenung, betapa mulianya Tukang Tambal Ban tersebut, saya baru merasakan bahwa sangat berharganya keberadaan mereka…!

***

Teman, sering diri kita meremehkan atau menganggap rendah profesi seseorang, tapi tanpa kita sadari kita membutuhkan profesi mereka. Atau sering diantara saudara kita merasa minder akan profesinya yang mereka lakukan, padahal begitu mulianya profesi yang mereka kerjakan, karena dengannya aktifitas saya dapat berjalan dengan lancar.

Sudahkah anda berterimakasih kepada mereka?

Kamis, Februari 12, 2009

Panah


Panah

Suatu ketika, hiduplah seorang bijak yang mahir memanah. Dia, mempunyai 3 orang murid yang setia. Ketiga pemuda tersebut, amatlah tekun menerima setiap pelajaran yang diberikan oleh guru tuanya itu. Mereka bertiga sangat patuh, dan tumbuh menjadi 3 orang pemanah yang ulung. Telah banyak buruan yang mereka dapatkan. Bidikan mereka bertiga sangatlah jitu. Sampai suatu ketika, tibalaz saat untuk ujian bagi ketiganya.

Sang guru, kemudian memilih lokasi ujian di sekitar tempat mereka belajar. Pilihannya jatuh pada sebuah pohon besar dengan latar belakang gunung yang indah. Di letakkannya sebuah burung-burungan kayu, pada cabang pohon itu. Setelah mengambil jarak beberapa puluh meter, Ia lalu berkata, "Muridku, lihatlah ke arah gunung itu, apa yang akan kau bidik.."

Murid pertama maju ke depan. Busur dan anak panah telah disiapkan. Dengan lantang, ia menjawab, "Aku melihat sebuah batang pohon. Itulah sasaran bidikanku." Sang guru tersenyum. Ia memberikan tanda, agar muridnya itu menunda bidikannya. Sesaat kemudian, murid yang kedua pun melangkah mendekat. "Bukan. Aku melihat sebuah burung. Itulah sasaran bidikanku. Biarkan aku memanahnya Guru. Nanti, " seru murid itu, "kita bisa memanggang burung yang lezat untuk makan siang."

Sang guru kembali tersenyum. Diisyaratkan tanda agar jangan memanah dulu. Ia bertanya kepada murid yang ketiga. "Apa yang kau lihat ke arah gunung itu?" Murid ketiga terdiam. Ia mengambil sebuah anak panah. Di rentangkannya tali busur, dibidiknya ke arah pohon tadi. Tali-tali itu menegang kuat. "Aku hanya melihat bola mata seekor burung-burungan kayu. Itulah bidikanku." Diturunkannya busur itu. Tali-tali panah tak lagi meregang. Sang Guru kembali tersenyum, namun kali ini, dengan rasa bangga yang penuh.

"Muridku, sejujurnya, kalian semua layak untuk lulus ujian ini. Namun, ada satu hal yang perlu kalian ingat dalam memanah. Fokus. Sekali lagi, fokus. Tentukan bidikan kalian dengan cermat. Tujuan yang jelas, akan selalu meniadakan hal-hal yang menjadi penganggunya." Ia kembali melanjutkan, "Sebuah keberhasilan bidikan, akan ditentukan dari tingkat kesulitan yang dihadapinya. Sebuah pohon besar dan burung, tentu adalah sasaran yang paling mudah untuk di dapat. Namun, bisa mendapatkan bidikan pada bola mata burung-burungan kayu, itulah yang perlu kalian terus latih.

***

Teman, memanah, adalah sama halnya dengan hidup. Kita pun perlu mempunyai fokus. Kita butuh sasaran dan tujuan. Memang, selalu ada banyak godaan-godaan pilihan yang harus di bidik. Selalu ada ribuan sasaran yang akan kita tuju dalam hidup. Ada bidikan yang mudah, dan ada pula bidikan yang sangat mudah.

Namun, kita harus jeli. Kita wajib untuk cermat. Dan, sudahkan kita tentukan tujuan hidup kita dengan jeli, dengan cermat? Tujuan yang terfokus, mungkin bukanlah hadir pada hal-hal yang besar. Tujuan yang terfokus, kerap ada pada sesuatu yang kecil, yang kadang sering dianggap remeh.

Teman, selalu ada banyak hiasan-hiasan dan marginalia yang muncul pada setiap tujuan hidup kita. Kadang, hiasan itu terlampau indah, dan membuat kita terpesona, lupa akan tujuan kita sesungguhnya. Marginalia itu kadang begitu menggoda, dan mengaburkan pandangan kita untuk menentukan fokus.

Dan teman, mari, bidiklah setiap sasaran itu dengan jeli. Siapkanlah "busur dan panah" hidup kita dengan cermat. Bukankah, nilai dalam lomba memanah, akan diukur dari lingkaran yang terkecil? Dari sanalah nilai terbesar akan kita dapatkan. Karena saya percaya, hidup adalah sama dengan memanah, dengan Allah sebagai "wasit penentunya."

Selasa, Februari 10, 2009

Kehidupan


Kehidupan

Aku berdoa agar diberikan kekuatan...
Namun, Allah memberikanku cobaan agar aku kuat menghadapinya.

Aku berdoa agar diberikan kebijaksanaan...
Namun, Allah memberikanku masalah agar aku mampu memecahkannya.

Aku berdoa agar diberikan kecerdasan...
Namun, Allah memberikanku otak dan pikiran agar aku dapat belajar dari-Nya.

Aku berdoa agar diberikan keberanian...
Namun, Allah memberikanku marabahaya agar aku mampu menghadapinya

Aku berdoa agar diberikan cinta dan kasih sayang...
Namun, Allah memberikanku orang-orang yang luka hatinya agar aku dapat
berbagi dengannya.

Aku berdoa agar diberikan kebahagiaan...
Namun, Allah memberikanku pintu kesempatan agar aku dapat memanfaatkannya.

Aku tak menerima semua yang kupinta
Namun, aku mendapatkan semua yang kuperlukan

***
Semoga, jalan yang kita lalui ini, akan semakin terang dengan cahaya Allah,
kemanapun kita kan melangkah. Dan, aku berdoa, semoga langkah-langkah ini
tak keliru mengambil jalan selain jalan-Nya.

Semoga, semua hasrat dalam hati, semua asa dalam jiwa kita, akan selalu
damai, akan selalu penuh kesejukan. Semoga, Allah melimpahkan kebahagiaan
dalam apapun yang kita lakukan. Amin

ALLAH MENGETAHUI


ALLAH MENGETAHUI

Saat kau lelah dan tak berdaya karena usaha yang gagal
Allah tahu betapa gigih engkau telah berusaha

Ketika sekian lama kau menangis dan batinmu menderita
Allah telah menghitung tangismu

Saat kau rasa hidupmu tak menentu dan waktu terus meninggalkanmu
Allah menunggu bersamamu

Ketika kau kesepian dan kawanmu terlalu sibuk meski hanya untkuk menelepon
Allah berada disisimu

Saat kau telah mencoba segala sesuatu dan tak taaau harus bebrbuat apalagi
Allah memiliki jalan keluarnya

Ketika semuanya tak masuk akal dan engkau merasa bingung atau frustasi
Allah memiliki jawabannya

Saat tiba-tiba hidupmu lebih ceraah dan kau temukan secercah harapan
Allah telah berbisik kepadamu

Ketika semuanya berjalan lancar dan banyak yang harus kau syukuri
Allah telah memberkahimu

Saat kegembiraan datang dan engkau merasa terpesona
Allah tersenyum padamu

Ketika kau punya cita-cita dan mimpi untuk diwujudkan
Allah telah membuka matamu dan memanggil namamu

Ingatlah, dimanapun engkau dan apapun yang kau hadapi
Allah mengetahui

Senin, Februari 09, 2009

Bibit Tanaman


Bibit Tanaman

Ada 2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, "Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku."

Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.

Bibit yang kedua bergumam. "Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."

Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.

***

Teman, memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.

Minggu, Februari 08, 2009

Perjuangan


Perjuangan

Suatu ketika, ada seorang pria yang menemukan sebuah kepompong. Ia lalu membawanya pulang untuk melihatnya menetas menjadi kupu-kupu. Pada suatu senja, ada celah kecil yang muncul dari kelopak kepompong itu. Dan untuk beberapa saat, ngengat kecil yang ada di dalamnya, berjuang untuk keluar. Namun, mahluk kecil itu tak kuasa. Ia tidak bisa memaksakan badannya keluar dari lubang yang kecil itu.

Pria itu merasa kasihan, dan ingin menolong ngengat kecil itu. Ia lalu mengambil sebuah gunting dan menggunting sebagian kepompong yang tersisa. Akhirnya, ngengat itu dapat keluar dengan mudah. Badannya besar dan bengkak, sayapnya kecil dan kusut.

Pria itu terus memperhatikan gerakan ngengat kecil tadi. Ia berharap, dalam beberapa saat lagi, sayap ngengat itu akan berkembang dalam keindahan alamiahnya. Ia berharap, akan melihat kelopak sayap kusut itu menjelma menjadi sayap kupu-kupu yang indah. Ia terus menanti saat-saat kupu-kupu kecil itu akan mengepakkan sayapnya,

Namun sayang, itu semua tidak terjadi. Ngengat kecil itu cuma bisa mengeliat, dan mengeliat. Sayapnya lemah, badannya ringkih.

***

Teman, sesungguhnya, ngengat itu tak akan mampu hidup sebagai mahluk yang terbang secara bebas sebelum ia berjuang sendiri. Setiap ngengat harus melata dan berjuang keluar dari kepompong, dengan daya dan usahanya sendiri.

Teman, sesungguhnya, saat ngengat itu mengeliat dan bergerak membebaskan dirinya, di saat itu pula Allah akan memberikannya cairan pelumas supaya ia bisa keluar. Di saat itu pula Allah akan melatih setiap sayap-sayapnya agar mampu untuk terbang.

Di saat itu pula Allah akan memberikan kekuatan dan anugrah kepada setiap ngengat, kemuliaan untuk bisa menunjukkan kebesaran-Nya. Di saat itu pula Allah akan memberikan jalan-Nya, jalan alami dan petunjuk yang telah digariskan-Nya. Itulah ujian Allah buat setiap ngengat yang akan menjadi seekor kupu-kupu. Allah, akan memberikan cobaan dan ujian terlebih dahulu sebelum ngengat itu berubah menjadi kupu-kupu yang cantik.

Dan akhirnya memang, setiap usaha untuk "mempermudah" setiap ujian itu, hanya akan membuat kita alpa, membuat kita cacat, membuat kita terbuai dengan segala kemudahan. Kita akan sering dilenakan dengan semua "kelancaran" itu. Kita kerap akan terbiasa untuk tak mau gigih, tak mau berjuang atas apa yang kita inginkan.

Teman, kadangkala memang, perjuanganlah yang kita butuhkan dalam hidup. Jika Allah membiarkan kita keluar dari segala kesulitan dengan tanpa halangan, maka, hal itu hanya akan membuat kita lengah. Kita tak akan bisa kuat, dan sama halnya dengan ngengat tadi, kita tak akan bisa menjadi "kupu-kupu" yang indah.

Kamis, Februari 05, 2009

Telinga


Telinga

"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan,"Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?"

Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya."Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya.
Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter.

Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses.Seorang lelaki baru pun lahirlah.

Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."

Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia.

Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah...bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"

***

Teman, kecantikan yang sejati, memang, tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

Rabu, Februari 04, 2009

Pohon Apel


Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya
hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang
daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian
pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi
bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi
pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,"
pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi." jawab anak
lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk
membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang
untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di
pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak
pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya
datang. "Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel. "Aku tak punya
waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan
rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel.

Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu
dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel
itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku." kata
pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang.
Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal
untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal
yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui
pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf, anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah
apelmu." jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat." kata pohon
apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini." kata
pohon apel itu sambil menitikkan air mata. "Aku tak memerlukan apa-apa lagi
sekarang." kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik
untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan
akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di
pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil
meneteskan air matanya.

--Souls Bread

****

Teman, ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua
kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan
apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin
berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu,
tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sepatu


Sepatu

Sore itu, udara sangat dingin di New York. Hari ini, senja yang kedua di bulan Desember. Seorang bocah, kira-kira 10 tahun, berdiri di depan sebuah toko sepatu. Kakinya telanjang, tanpa alas kaki, menatap harap dari balik kaca etalase, menggigil dalam dingin yang menusuk.

Seorang wanita menghampirinya, dan berkata, "Hai kawan kecil, mengapa kamu ada disini?. "Ada apa dengan kaca-kaca itu?" Tanyanya lagi.

Anak itu menjawab, "Aku sedang berdoa kepada Tuhan untuk memberikanku sepasang sepatu." Badannya kembali bergetar-getar menahan dingin angin Desember yang keras.

Lalu, wanita itu menggandeng tangannya, dan mengajaknya masuk ke toko sepatu. Ia lalu meminta pelayan untuk memberikannya sepasang sepatu, serta beberapa kaus kaki untuk bocah tadi. Wanita itu juga meminta pelayan untuk menyiapkan sebaskom air hangat, dan handuk kering untuknya. Tak lama kemudian, semua pesanannya tersedia.

Wanita itu lalu membawa sobat kecilnya ke belakang toko. Ia membuka kedua sarung tangannya, berlutut, dan membersihkan kaki anak itu dengan air, lalu membasuhnya dengan handuk kering.

Diambilnya juga sepasang kaus kaki. Perlahan, dimasukkannya benda itu ke kaki-kaki kecil, dan dirapikannya kuat-kuat. Bocah tadi tersenyum, sambil memegang erat bahu sang penolongnya itu. Ia tampak senang sekali. Sang wanita bertanya, "Bagaimana, kamu lebih hangat sekarang?". Anak itu kembali tersenyum.

Setelah selesai, sang wanita lalu mengecup kening bocah tadi, dan mulai memandangi wajah kecil di depannya. Dengan air mata yang berlinang, dan mata yang berbinar, anak itu bertanya, "Apakah Ibu, istrinya Tuhan?. Sang wanita kembali tersenyum dan mengecup kening bocah itu sekali lagi.

~Author Unknown

Teman, ada hal-hal luar biasa yang hadir dalam keseharian kita. Ada banyak kesempatan untuk kita berbuat baik. Setidaknya, kita bisa memberikan lebih banyak kehangatan buat orang lain di sekitar kita. Sampaikanlah "sepatu" dan "kaus kaki hangat" itu ke sekitar kita, dan semoga, kita akan mendapat balasan yang lebih baik dari-Nya. Amin.

Minggu, Februari 01, 2009

Tukang Kayu


Tukang Kayu

Suatu ketika, ada seorang tukang kayu yang sudah cukup tua yang bersiap
untuk pensiun bekerja. Ia, lalu melaporkan hal itu kepada atasannya, bahwa,
kini sudah saatnya ia menghabiskan waktu bersama keluarga, dan menikmati
masa-masa senja hidupnya. Ia, mungkin akan merindukan saat-saat gajian, tapi
Ia butuh sekali untuk beristirahat. Anak dan istrinya, butuh sekali
kehadiran seorang ayah di rumah.

Atasannya, sangat menyayangkan keinginan sang tukang kayu. Sebab, selama
ini, dia telah bekerja cukup baik. Sang atasan lalu meminta kepadanya untuk
membuat sebuah rumah saja, untuk sebuah permintaan pribadi terakhir baginya.
Sang tukang kayu mengiyakan. Namun, agaknya saat itu bukan waktu yang paling
baik untuk meneruskan bekerja. Suasana hati sang tukang, terlalu terbawa
perasaan ingin cepat selesai. Terburu-buru dan tergesa-gesa, kira-kira
begitulah keadaannya saat itu. Ia, hanya menyiapkan perkakas dan pekerja
seadanya, dan membuat rumah itu dari bahan-bahan yang murah dan mudah
didapat. Ia melupakan semua bahan-bahan yang berkualitas untuk rumah
terakhir yang dibuatnya ini.

Saat tukang kayu itu selesai membangun semuanya, sang atasan datang untung
memeriksa dan melihat hasil kerja pegawainya ini. Ia, lalu mengajak tukang
kayu itu, ke pintu depan. Lalu, diserahkannya kunci rumah itu kepada si
tukang kayu kembali. "Ini adalah rumah buatmu, kata atasannya, "angggaplah,
ini hadiah dariku..."

Sang tukang kayu terkejut mendengarnya. Ah, betapa memalukan. Ah, kalau
saja, dia tahu bahwa bangunan ini adalah untuknya, tentu, ia tak akan
melakukan semua ini. Ia tentu akan melakukannya dengan hati-hati. Kalau
saja, sebelumnya, sang atasan memberitahukan semua pekerjaan ini, tentu, ia
akan lakukan yang terbaik.

***

Teman, begitulah kita. Cerita ini, setidaknya adalah sebuah permenungan buat
kita. Kita bangun rumah kehidupan kita, waktu demi waktu, dan terlalu sering
kita menggunakan bahan-bahan yang rentan dan seadanya untuk sebuah masa
depan yang kita rancang. Terlalu sering, kita, yang kerap alpa ini,
membangun hidup, dengan langkah yang ceroboh, tak hati-hati, dan
tergesa-gesa. Kita juga sering, tak memberikan yang terbaik buat hidup kita.

Lalu, kita pun akan terkejut dengan apa yang hasilkan selama ini. Kita,
harus hidup, dalam sebuah "rumah kehidupan" yang telah kita buat sebelumnya.
Pengalaman, setidaknya menjadi guru yang cerdik, yang memberikan tes di awal
pelajaran, lalu baru menjelaskannya kemudian. Jika saja, kita dapat
membangunnya kembali dari awal, tentu, kita akan lakukan yang berbeda. Kalau
saja, kita mengetahuinya lebih dulu, tentu hasilnya akan berlainan. Namun,
sayang, kita tak dapat kembali ke masa lalu. KIta tak dapat merubah nasih
yang telah silam. Ah kalau saja...

Teman, kitalah si tukang kayu itu. Setiap saat, kita memukulkan pasak dalam
tiang-tiang kehidupan ini, menempatkan penampang langit-langit kepala kita,
dan membuat tembok-tembok dalam jiwa. Ada seseorang yang pernah berkata,
Kehidupan, adalah sebuah proyek pribadi yang harus di lakukan sendiri.
Tingkah, sikap, dan perilaku serta pilihan yang kita buat hari ini, akan
menentukan, "rumah kehidupan" apa yang akan kita tempati kelak. Bangunlah
rumah itu dengan bijak.

Teman, terima kasih telah membaca. Hope u r well and please do take care.
Wassalamu'alaikum wr wb. Salam hangat!!!

Terbang


Terbang

Suatu ketika, ada seorang anak yatim yang ingin sekali terbang seperti burung. Ia berpikir, kenapa dia tak bisa terbang, padahal, di kebun binatang, ada burung yang lebih besar dari badannya, tapi tetap bisa terbang. "Kenapa aku tak bisa terbang?, begitu pikirnya dalam hati. "Apakah ada yang salah dengan diriku?" ia bertanya-tanya. Dan ia selalu berharap, akan bisa terbang suatu saat nanti.

Namun, di tempat lain, ada pula seorang anak yang cacat kakinya. Ia juga punya satu keinginan. Ia ingin sekali dapat berjalan dan berlari seperti anak-anak lainnya. "Kenapa aku tak bisa seperti mereka?", pikiran itulah yang selalu tergiang dalam dada.

Suatu hari, si anak yatim yang ingin terbang itu bertemu dengan si cacat di suatu taman. Si Yatim, tampak menghampiri si Cacat, yang sedang bermain-main dengan kotak pasirnya. Sambil mempermainkan pasir, si Yatim lalu bertanya, apakah temannya ini, ingin bisa terbang juga seperti burung-burung dalam impiannya. "Tidak", kata si Cacat. "Namun, aku selalu ingin bisa berjalan dan berlari seperti anak-anak lainnya. Itulah impianku", ujar si Cacat perlahan.

"Hmmm...sungguh sayang, kata si Yatim. Ah, tapi, kita tetap bisa jadi teman kan? "Oh, tentu saja, ujar si Cacat dengan wajah ceria.
Mereka bermain selama beberapa jam. Mereka juga membuat istana pasir, bersenda gurau dengan sekop dan pacul, serta membuat suara-suara yang lucu dengan mulut mereka. Ya, mereka berdua tampak senang sekali melewati hari itu di taman. Kadang, suara mereka terdengar keras sekali, hingga menarik perhatian anak-anak lainnya.

Akhirnya, datanglah ayah si Cacat membawa kursi roda, dan hendak membawa anaknya pulang. Si Yatim, rupanya enggan untuk selesai, dan menghampiri ayah temannya ini. Lalu, ia tampak membisiki sesuatu ke telinga pria itu. Sang Ayah, berpikir sebentar. Lalu, berkata "baiklah kalau begitu, tapi, setelah ini, kami harus pulang, karena senja telah datang."

Si Yatim, yang selalu ingin terbang seperti burung, berlari ke arah si Cacat, dan berkata, "kamu adalah temanku satu-satunya, dan aku berharap, aku dapat melakukan sesuatu untuk bisa membuatmu berjalan dan berlari. Tapi sayang, aku tak bisa. Namun, ada sesuatu yang akan kulakukan untukmu.

Si yatim, lalu berjongkok, dan meminta teman barunya ini, untuk naik ke punggungnya. Si Cacat, tampak kebingungan, namun tetap melakukan permintaan itu. Ahha, mereka tampak bergendongan kini.

Si Yatim, lalu mulai berjalan, dan berjalan lebih cepat. Ia, kini tampak berlari melintasi taman yang berumput, sambil menggendong temannya yang cacat. Walau tampak kelelahan, si Yatim terus berlari. Angin semilir, tampak menerpa kedua bocah yang tampak ceria ini. Mereka berdua, tampak senang sekali.

Dari kejauhan, Sang Ayah, tampak sangat terharu, saat melihat, anaknya yang cacat itu, mulai mengepakkan kedua tangganya kuat-kuat. Tangan itu, tampak naik-turun, seiring dengan semilir angin yang menerpa wajah dan rambutnya. Di kepakkannya terus menerus. Tangan itu tampak begitu indah, bergerak-gerak, seperti sayap burung pipit yang mengepak-ngepak. Dan, saat kedua anak itu mendekat kepadanya, terdengarlah suara sang anak:

"Aku bisa terbang, Ayah. Aku bisa terbang."

Sang Ayah, tampak meneteskan air mata, dan membiarkan kedua anak itu berlari sambil bergendongan hingga senja tiba. Ia tak tega, memutus kebahagiaan yang tengah hadir di hari kedua anak ini. Ia tak kuasa, untuk membiarkan anaknya, berhenti mereguk kesenangannya.

Di tengah temaram senja, saat lampu merkuri taman mulai di nyalakan, tampaklah dua sosok anak yang sedang berlari dengan gembira. "Aku terbang Ayah. Aku bisa terbang."