Rabu, Desember 31, 2008
Nenek dan Minyak Goreng
Nenek dan Minyak Goreng
Suatu ketika saya bertemu dengan seorang nenek. Dia, yang yang ringkih dengan
kebaya bermotif kembang itu, tampak sedang memegang sebuah kantong plastik.
Hitam warnanya, dan tampak lusuh. Saya duduk disebelahnya, di atas sebuah
metromini yang menuju ke stasiun KA.
Dia sangat tua, tubuhnya membungkuk, dan kersik di matanya tampak jelas. Matanya
selalu berair, keriputnya, mirip dengan aliran sungai. Kelok-berkelok. Hmm...dia
tampak tersenyum pada saya. Sayapun balas tersenyum. Dia bertanya, mau kemana.
Saya pun menjawab mau kerja, sambil bertanya, apa isi plastik yang dipegangnya.
Minyak goreng, jawabnya. Ah, rupanya, dia baru saja mendapat jatah pembagian
sembako. Pantas, dia tampak letih. Mungkin sudah seharian dia mengantri untuk
mendapatkan minyak itu. Tanpa ditanya, dia kemudian bercerita, bahwa minyak itu,
akan dipakai untuk mengoreng tepung buat cucunya. Di saat sore, itulah yang bisa
dia berikan buat cucunya.
Dia berkata, cucunya sangat senang kalau digorengkan tepung. Sebab, dia tak
punya banyak uang untuk membelikan yang lain selain gorengan tepung buatannya.
Itupun, tak bisa setiap hari disajikan. Karena, tak setiap hari dia bisa
mendapatkan minyak dan tepung gratis.
Degh. Saya terharu. Saya membayangkan betapa rasa itu begitu indah. Seorang
nenek yang rela berpanas-panas untuk memberikan apa yang terbaik buat cucunya.
Sang nenek, memberikan saya hikmah yang dalam sekali. Saya teringat pada Ibu.
Allah memang maha bijak. Sang nenek hadir untuk menegur saya.
Sudah beberapa saat waktu sebelumnya, saya sering melupakan Ibu. Seringkali
makanan yang disajikannya, saya lupakan begitu saja. Mungkin, karena saya yang
terlalu sok sibuk dengan semua urusan kerja. Sering saat pulang ke rumah, saya
menemukan nasi goreng yang masih tersaji di meja, yang belum saya sentuh sejak
pagi.
Sering juga saya tak sempat merasakan masakan Ibu di rumah saat kembali, karena
telah makan di tempat lain. Saya sedih, saat membayangkan itu semua. Dan Ibu pun
sering mengeluh dengan hal ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya bisa rasakan,
Ibu pasti memberikan harapan yang banyak untuk semua yang telah dimasaknya buat
saya. Tentu, saat memasukkan bumbu-bumbu, dia juga memasukkan kasih dan cintanya
buat saya.
Dia pasti juga akan menambahkan doa-doa dan keinginan yang terbaik buat saya.
Dia pasti, mengolah semua masakan itu, mengaduk, mencampur, dan menguleni, sama
seperti dia merawat dan mengasihi saya. Menyentuh dengan lembut, mengelus,
seperti dia mengelus kepala saya di waktu kecil.
***
Metromini telah sampai. Setelah mengucap salam pada nenek itu, saya pun turun.
Namun, saya punya punya keinginan hari itu. Mulai esok hari, saya akan menyantap
semua yang Ibu berikan buat saya. Apapun yang diberikannya. Karena saya yakin,
itulah bentuk ungkapan rasa cinta saya padanya. Saya percaya, itulah yang dapat
saya berikan sebagai penghargaan buatnya.
Saya berharap, tak akan ada lagi makanan yang tersisa. Saya ingin membahagiakan
Ibu. Terima kasih Nek.
Jumat, Desember 26, 2008
Roda
Roda
Suatu ketika, ada sebuah roda yang kehilangan salah satu jari-jarinya. Ia,
tampak sedih. Tanpa jari-jari yang lengkap, tentu, ia tak bisa lagi berjalan
dengan lancar. Hal ini terjadi saat ia melaju terlalu kencang ketika melintasi
hutan. Karena terburu-buru, ia melupakan, ada satu jari-jari yang jatuh dan
terlepas. Kini sang roda pun bingung. Kemana kah hendak di cari satu bagian
tubuhnya itu?
Sang roda pun berbalik arah. Ia kembali menyusuri jejak-jejak yang pernah di
tinggalkannya. Perlahan, di tapakinya jalan-jalan itu. Satu demi satu di
perhatikannya dengan seksama. Setiap benda di amati, dan di cermati, berharap,
akan di temukannya jari-jari yang hilang itu.
Ditemuinya kembali rerumputan dan ilalang. Dihampirinya kembali bunga-bunga di
tengah padang. Dikunjunginya kembali semut dan serangga kecil di jalanan. Dan
dilewatinya lagi semua batu-batu dan kerikil-kerikil pualam. Hei....semuanya
tampak lain. Ya, sewaktu sang roda melintasi jalan itu dengan laju yang kencang,
semua hal tadi cuma berbentuk titik-titik kecil. Semuanya, tampak biasa, dan tak
istimewa. Namun kini, semuanya tampak lebih indah.
Rerumputan dan ilalang, tampak menyapanya dengan ramah. Mereka kini tak lagi
hanya berupa batang-batang yang kaku. Mereka tampak tersenyum, melambai tenang,
bergoyang dan menyampaikan salam. Ujung-ujung rumput itu, bergesek dengan lembut
di sisi sang roda. Sang roda pun tersenyum dan melanjutkan pencariannya.
Bunga-bunga pun tampak lebih indah. Harum dan semerbaknya, lebih terasa
menyegarkan. Kuntum-kuntum yang baru terbuka, menampilkan wajah yang cerah.
Kelopak-kelopak yang tumbuh, menari, seakan bersorak pada sang roda. Sang roda
tertegun dan berhenti sebentar. Sang bunga pun merunduk, memberikan salam
hormat.
Dengan perlahan, dilanjutkannya kembali perjalanannya. Kini, semut dan serangga
kecil itu, mulai berbaris, dan memberikan salam yang paling semarak. Kaki-kaki
mereka bertepuk, membunyikan keriangan yang meriah. Sayap-sayap itu bergetar,
seakan ada ribuan genderang yang di tabuh. Mereka saling menyapa. Dan, serangga
itu pun memberikan salam, dan doa pada sang Roda.
Begitu pula batu dan kerikil pualam. Kilau yang hadir, tampak berbeda jika di
lihat dari mata yang tergesa-gesa. Mereka lebih indah, dan setiap sisi batu itu
memancarkan kemilau yang teduh. Tak ada lagi sisi dan ujung yang tajam dari batu
yang kerap mampir di tubuh sang Roda. Semua batu dan pualam, membuka jalan,
memberikan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah lama berjalan, akhirnya, ditemukannya jari-jari yang hilang. Sang roda
pun senang. Dan ia berjanji, tak akan tergesa-gesa dan berjalan terlalu kencang
dalam melakukan tugasnya.
***
Teman, begitulah hidup. Kita, seringkali berlaku seperti roda-roda yang berjalan
terlalu kencang. Kita sering melupakan, ada saat-saat indah, yang terlewat di
setiap kesempatan. Ada banyak hal-hal kecil, yang sebetulnya menyenangkan, namun
kita lewatkan karena terburu-buru dan tergesa-gesa.
Hati kita, kadang terlalu penuh dengan target-target, yang membuat kita hidup
dalam kebimbangan dan ketergesaan. Langkah-langkah kita, kadang selalu dalam
keadaan panik, dan lupa, bahwa di sekitar kita banyak sekali hikmah yang perlu
di tekuni.
Seperti saat roda yang terlupa pada rumput, ilalang, semut dan pualam, kita pun
sebenarnya sedang terlupa pada hal-hal itu. Teman, coba, susuri kembali
jalan-jalan kita. Cermati, amati, dan perhatikan setiap hal yang pernah kita
lewati. Runut kembali perjalanan kita.
Adakah kebahagiaan yang terlupakan? Adakah keindahan yang tersembunyi dan alpa
kita nikmati? Kenanglah ingatan-ingatan lalu. Susuri dengan perlahan. Temukan
keindahan itu!!
Sabtu, Desember 20, 2008
PELUANG
PELUANG
Pernah suatu ketika saya pergi keluar kota bersama ayah saya. Ayah saya yang menyetir mobil duluan, sedang diriku menjadi sopir cadangan. Ayah saya termasuk salah satu orang yang suka menyetir mobil. Walaupun ada yang lebih muda yang siap menyetir, beliau tidak mau digantikan kecuali jika beliau merasa capek atau mengantuk.
Sangatlah terlihat memang perbedaan menyetir beliau dengan saya. Beliau begitu lincahnya membawa mobil dengan luwes, menyalip mobil, walaupun jalanan agak padat, tapi mobil bisa berjalan dengan kecepatan penuh, dengan cerdik dan cermat mengambil peluang menyalip mobil satu ke mobil lainnya. Pada awalnya memang agak tegang, akan tetapi makin lama terasa biasa saja.
Sedang saya, walaupun setiran saya cukup enak, akan tetapi kalah kecepatan dengan ayah saya, karena saya cenderung mencari aman. Saya akan menyalib mobil didepan ketika memang ada peluang besar menyalip, dengan tanggungan resiko yang kecil. Dengan pertimbangan yang lama, apakah saya akan menabrak mobil di jalur yang berlawanan. Apakah waktunya cukup untuk menyalib. Apakah celahnya cukup untuk mobil saya, cukup lama saya berfikir. Sehingga mobil belakang mendahului saya terus. Akan tetapi saya mulai bisa belajar berfikir cepat untuk mencari celah-celah dan peluang untuk mendahului mobil satu ke mobil lain..
***
Saudaraku, ada hikmah yang saya ambil dari peristiwa tersebut, yakni kita sering ragu dan kurang percaya diri akan kemampuan diri kita. Ketika ada peluang baik itu usaha, ataupun suatu hal yang kita cari, kita masih kurang percaya diri. Kita sering banyak pertimbangan yang cenderung berlebihan, sehingga akan didahului oleh orang lain dalam mengambil peluang tersebut sehingga kita kehilangan peluang tersebut. Seperti ketika saya menyetir mobil, saya ragu, banyak pertimbangan ketika akan menyalib mobil didepan, maka saya yang didahului dari mobil belakang. Jadinya diri kita akan menjadi yang terakhir. Balapan mobil juga begitu, ketika tidak mengambil peluang sebaik mungkin dan secepat mungkin maka akan didahului oleh pesaing kita. Sudah seharusnyalah kita segera mengambil peluang sebelum diambil oleh orang lain, atau peluang itu tidak akan muncul kembali.
Rabu, Desember 17, 2008
Perangkap
Teman, saya pernah membaca suatu hal yang menarik tentang perangkap. Suatu
sistem yang unik, telah dipakai di hutan-hutan Afrika untuk menangkap monyet
yang ada disana. Sistem itu memungkinkan untuk menangkap monyet dalam keadaan
hidup, tak cedera, agar bisa dijadikan hewan percobaan atau binatang sirkus di
Amerika.
Caranya sangat manusiawi (*umm...atau mungkin hewani kali ye..hehehe*). Sang
pemburu monyet, akan menggunakan sebuah toples berleher panjang dan sempit, dan
menanamnya di tanah. Toples kaca yang berat itu berisi kacang, ditambah dengan
aroma yang kuat dari bahan-bahan yang disukai monyet-monyet Afrika. Mereka
meletakkannya di sore hari, dan mengikat/menanam toples itu erat-erat ke dalam
tanah. Keesokan harinya, mereka akan menemukan beberapa monyet yang
terperangkap, dengan tangan yang terjulur, dalam setiap botol yang dijadikan
jebakan.
Tentu, kita tahu mengapa ini terjadi. Monyet-monyet itu tak melepaskan tangannya
sebelum mendapatkan kacang-kacang yang menjadi jebakan. Mereka tertarik pada
aroma yang keluar dari setiap toples, lalu mengamati, menjulurkan tangan, dan
terjebak. Monyet itu, tak akan dapat terlepas dari toples, sebelum ia melepaskan
kacang yang di gengamnya. Selama ia tetap mempertahankan kacang-kacang itu,
selama itu pula ia terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat, sebab
tertanam di tanah. Monyet tak akan dapat pergi kemana-mana.
Teman, kita mungkin tertawa dengan tingkah monyet itu. Kita bisa jadi terbahak
saat melihat kebodohan monyet yang terperangkap dalam toples. Tapi, mungkin,
sesungguhnya, kita sedang menertawakan diri kita sendiri. Betapa sering, kita
mengengam setiap permasalahan yang kita miliki, layaknya monyet yang mengenggam
kacang. Kita sering mendendam, tak mudah memberikan maaf, tak mudah melepaskan
maaf, memendam setiap amarah dalam dada, seakan tak mau melepaskan selamanya.
Seringkali, kita, yang bodoh ini, membawa "toples-toples" itu kemana pun kita
pergi. Dengan beban yang berat, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar,
kita sebenarnya sedang terperangkap dengan persoalan pribadi yang kita alami.
Teman, bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lalu, dan
menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah lebih menyenangkan, untuk
memberikan maaf bagi setiap orang yang pernah berbuat salah kepada kita? Karena,
kita pun bisa jadi juga bisa berbuat kesalahan yang sama. Bukankah lebih terasa
nyaman, saat kita membagikan setiap masalah kepada orang lain, kepada teman,
agar di cari penyelesaiannya, daripada terus dipendam?
Selasa, Desember 16, 2008
Keberanian
Suatu ketika seorang Indian muda, mendatangi tenda ayahnya. Di dalam sana, duduk
seorang tua, dengan pipa panjang yang mengepulkan asap. Matanya terpejam, tampak
sedang bersemadi. Hening. "Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok pagi?" tanya
Indian muda itu memecahkan kesunyian disana. Mata sang Ayah membuka perlahan,
sorot matanya tajam, memandang ke arah anak paling disayanginya itu. Kepala suku
itu hanya diam.
"Ya Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok? Lihat, aku sudah mengasah pisauku.
Kini semuanya tajam dan berkilat." Tangan si kecil merogoh sesuatu dari balik
kantung kulitnya. Sang Ayah masih diam mendengarkan. "Aku juga sudah membuat
panah-panah untuk bekalku berburu. Ini, lihatlah Ayah, semuanya pasti tajam.
Busurku pun telah kurentangkan agar lentur. Pasti aku akan menjadi Indian
pemberani yang hebat seperti Ayah. Ijinkan aku ikut Ayah." Terdengar permintaan
merengek dari si kecil.
Suasana masih tetap senyap. Keduanya saling pandang. Terdengar suara berat sang
Ayah, "Apakah kamu sudah berani untuk berburu? "Ya!" segera saya terdengar
jawaban singkat dari si kecil. "Dengan pisau dan panahku, aku akan menjadi yang
paling hebat." Sang Ayah tersenyum, "Baiklah, kamu boleh ikut besok, tapi ingat,
kamu harus berjalan di depan pasukan kita. Mengerti?" Sang Indian muda
mengangguk.
Keesokan hari, pasukan Indian telah siap di pinggir hutan. Kepala suku, dan
Indian muda, berdiri paling depan. "Hari ini anakku yang akan memimpin perburuan
kita. Biarkan dia berjalan di depan." Indian muda itu tampak gagah. Ada beberapa
pisau yang terselip di pinggang. Panah dan busur, tampak melintang penuh di
punggungnya. Ini adalah perburuan pertamanya. Si kecil berteriak nyaring, "ayo
kita berangkat."
Mereka mulai memasuki hutan. Pohon-pohon semakin rapat, dan semak semakin
meninggi. Sinar matahari pun tak leluasa menyinari lebatnya hutan. Mulai
terdengar suara-suara dari binatang yang ada disana. Indian kecil yang tadi
melangkah dengan gagah, mulai berjalan hati-hati. Parasnya cemas dan takut.
Wajahnya sesekali menengok ke belakang, ke arah sang Ayah. Linglung, dan ngeri.
Tiba-tiba terdengar beberapa suara harimau mengaum. "Ayah...!!" teriak si kecil.
Tangannya menutup wajah, dan ia berusaha lari ke belakang. Sang Ayah tersenyum
melihat kelakuan anaknya, begitupun Indian lainnya.
"Kenapa? Kamu takut? Apakah pisau dan panahmu telah tumpul? Mana keberanian yang
kamu perlihatkan kemarin?" Indian muda itu terdiam. "Bukankah kamu bilang, pisau
dan panahmu dapat membuatmu berani? Kenapa kamu takut sekarang? Lihat Nak,
keberanian itu bukan berasal dari apa yang kau miliki. Tapi, keberanian itu
datang dari sini, dari jiwamu, dari dalam dadamu." Tangan Kepala Suku menunjuk
ke arah dada si kecil.
"Kalau kamu masih mau jadi Indian pemberani, teruskan langkahmu. Tapi jika, di
dalam dirimu masih ada jiwa penakut, ikuti langkah kakiku." Indian muda itu
masih terdiam. "Setajam apapun pisau dan panah yang kau punya, tak akan
membuatmu berani kalau jiwamu masih penakut. Sekuat apapun busur telah kau
rentangkan, tak akan membuatmu gagah jika jiwa pengecut lebih banyak berada di
dalam dirimu." "...Aauummmm." Tiba-tiba terdengar suara harimau yang mengaum
kembali. Indian muda kembali pucat. Ia memilih untuk berjalan di belakang sang
Ayah.
***
Keberanian. Apakah itu keberanian? Keberanian bukanlah rasa yang dimiliki oleh
orang yang menganggap dirinya memiliki segalanya. Keberanian juga bukan
merupakan rasa yang berasal dari sifat-sifat sombong dan takabur. Keberanian
adalah jiwa yang berasal dari dalam hati, dan bukan dari materi yang kita
miliki. Keberanian adalah sesuatu yang tersembunyi yang membuat orang tak pernah
gentar walau apapun yang dia hadapi.
Saya percaya, keberanian bukan berasal dari apa yang kita sandang atau kita
miliki. Keberanian bukan datang dari apa yang kita pamerkan atau yang kita
punyai. Tapi, teman, keberanian adalah datang dari dalam diri, dari dalam dada
kita sendiri. Keberanian adalah sesuatu yang melingkupi perasaan kita, dan
menjadi bekal dalam setiap langkah yang kita ayunkan.
Teman, mungkin saat ini kita diberikan banyak kemudahan, dan membuat kita merasa
cukup berani dalam menjalani hidup. Kita mungkin dititipkan kelebihan-kelebihan
dan membuat kita takabur bahwa semua masalah akan mampu di hadapi. Mungkin saat
ini kita kaya, rupawan, berpendidikan tinggi, dan berkedudukan bagus, tapi
apakah itu bisa menjadi jaminan bahwa kita akan selamanya dapat menjalani hidup
ini? Apakah itu akan selamanya cukup untuk menjadi bekal kita dalam "perburuan"
hidup ini?
Jadilah Indian muda yang tetap melangkah, dengan jiwa pemberani yang hadir dari
dalam hati, dan BUKAN dari pisau dan panah yang telah diasah. Jadilah Indian
muda yang tak pernah gentar mendengar suara harimau, sekeras apapun suara itu
terdengar. Jadilah Indian muda yang tetap yakin dengan pilihan keberanian yang
ia putuskan. Jangan gentar, jangan surut untuk melangkah.
Sabtu, Desember 13, 2008
TV Online Indonesia!
Assalamualaikum, w. w.
Sekarang kita dapat lihat program TV Indonesia melalui internet! Walaupun di negeri orang kita bisa melihat TV Indonesia! Lengkap kok! RCTI, TRANTV, SCTV, TV One, ANTV, INDOSIAR, GLOBAL TV, TPI, TRANS 7, dan lain-lain (ada juga TV lokal sebagian). Buka aja :
http://indoweb.tv/
Selamat menonton TV Online!
Wassalamualaikum!
Kupu-Kupu
Kupu-Kupu
Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung.
Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata
angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas.
Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain
disana.
"Sedang apa kau disini anak muda?" tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek
tua. "Apa yang kau risaukan..?" Anak muda itu menoleh ke samping, "Aku lelah Pak
Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak
juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan
lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku
harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?"
Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di
pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, "di depan sana, ada
sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor
kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. "Ya...tangkaplah seekor kupu-kupu buatku
dengan tanganmu" sang Kakek mengulang kalimatnya lagi.
Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa
lama, dijumpainya taman itu. Taman yang yang semarak dengan pohon dan
bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan
disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat
pemuda yang sedang gelisah itu.
Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran.
Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain.
Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari
tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk
mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya
semakin liar.
Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat
ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak
naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, "Hentikan dulu anak muda.
Istirahatlah." Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada
sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka
terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
"Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak
tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?" Sang Kakek menatap
pemuda itu. "Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin
kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi
dari dirimu."
"Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan
benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah
kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari
kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri."
Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang
hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan
keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang
mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu
indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.
***
Teman, mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi
mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka
cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak
sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya. Kita dapat saja
mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat
meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap
setelah mendapatkannya.
Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan
cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di
genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan
adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam
hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari
kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan
menjauh.
Teman, cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu
menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap
langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup
kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia
itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita.
Saya percaya, bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan
mungkin, bahagia itu "hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah
memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita,
namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Rabu, Desember 10, 2008
TERIAK
Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang
meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat
peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya
tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil
terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orangtua murid ikut
hadir dan menyemarakkan acara itu.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada
yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang
menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak
pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang
pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya
pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap
terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.
Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak
Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar
dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam
komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan
mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut
berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah
nama. Ahha...ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara.
Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. "Aku menang...", begitu
ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak
bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap
ke seluruh hadirin. Mereka bangga.
Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya
kepada sang "jagoan, "Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya.
Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya,
sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak
heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik.." tanya Pak Guru, "Coba kamu
ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..".
Sang anak menjawab, "Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus
berterima kasih kepada Ayah saya dirumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar
berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah
sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah
seperti Ayah." Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai
melanjutkan, "..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini,
adalah peran yang mudah buat saya..."
Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitupun kedua
orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya
mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai
terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu
diluruskan dalam perilaku mereka.
***
Teman, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah
peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan
belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak
dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita,
tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air
telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan
perilaku yang mereka perbuat.
Namun sayang, cermin itu meniru pada semua hal. Baik, buruk, terpuji ataupun
tercela, di munculkan dengan sangat nyata bagi kita yang berkaca. Cermin itu
juga menjadi bayangan apapun yang ada di depannya. Telaga itu adalah juga
pancaran sejati terhadap setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa,
memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu, saat melihat gambaran
yang buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri kita sendiri?
Teman, saya ingin berpesan kepada kita semua, "berteriaklah kepada anak-anak
kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka
ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang
pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bekerja saat kita marah,
maka kita akan belajar menciptakan seorang yang penuh dengki..."
Peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Contoh
apakah yang sedang kita berikan kali ini? Dan panutan apakah yang sedang kita
tampilkan? Teman, percayalah, mereka akan selalu belajar dari kita, dari orang
yang terdekatnya, dari orang yang mencintainya. Merekalah lingkaran terdekat
kita, tempat mereka belajar, menerima kasih sayang, dan juga tempat mereka
meniru dalam berperilaku.
Saya berharap, bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak
menumpahkan air di gelas yang mereka pegang. Saya berharap menjadi orang yang
ikhlas, saat melihat mereka memecahkan piring makan mereka sendiri. Sebab,
bukankah mereka baru "belajar" memegang gelas dan piring itu selama 5 tahun,
sedangkan kita telah mengenalnya sejak lebih 20 tahun? Tentu mereka akan butuh
waktu untuk bisa seperti kita.
Cara Download MP3 di Multiply!
Daftar disini
Kalau sudah daftar log out dulu! (posisi jangn log in ketika ingin mendownload!)
1
Klik Play this Playlist, ikuti perintah log in! silahkan buka di Winamp atau Media Player!
2
3
Klik kanan, lalu klik view file info, trus copy alamatnya! http://.........
atau
Klik kanan pada plylist, klik properties, lalu copy alamatnya! http://.........
4
Paste alamat tadi ke new tab baru,...! Tinggal tunggu download!
5
Selamat Mencoba!
Sabtu, Desember 06, 2008
Dua Ekor Singa
Dua Ekor Singa
Suatu sore di tengah telaga, terlihat dua orang yang sedang memancing.
Tampaknya, ada ayah dan anak yang sedang menghabiskan waktu mereka disana.
Dengan perahu kecil, keduanya sibuk mengatur joran dan umpan. Air telaga
bergoyang perlahan, membentuk riak-riak air. Gelombangnya mengalun menuju
tepian, menyentuh sayap-sayap angsa yang sedang berjalan beriringan. Suasana
begitu tenang, hingga terdengar sebuah percakapan.
"Ayah."
"Hmm..ya.." Sang ayah menjawab pelan. Matanya tetap tertuju pada ujung
kailnya yang terjulur. "Beberapa malam ini," ucap sang anak, "aku bermimpi
aneh. Dalam mimpiku, ada dua ekor singa yang tampak sedang berkelahi dalam
hatiku. Gigi-gigi mereka, terlihat runcing dan tajam. Keduanya sibuk
mencakar dan menggeram, seperti saling ingin menerkam. Mereka tampak ingin
saling menjatuhkan."
Anak muda ini terdiam sesaat. Lalu, mulai melanjutkan cerita, "singa yang
pertama, terlihat baik dan tenang. Geraknya perlahan namun pasti. Badannya
pun kokoh dan bulunya teratur. Walaupun suaranya keras, tapi terdengar
menenangkan buatku."
Ayah mulai menolehkan kepala, dan meletakkan pancingnya di pinggir haluan.
"Tapi, Ayah, singa yang satu lagi tampak menakutkan buatku. Geraknya tak
beraturan, sibuk menerjang kesana-kemari. Punggungnya pun kotor, dan bulu
yang koyak. Suaranya parau dan menyakitkan.
"Aku bingung, apakah maksud dari mimpi ini. Apakah singa-singa itu adalah
gambaran dari sifat-sifat baik dan buruk yang aku punya? Lalu, singa yang
mana yang akan memenangkan pertarungan itu, karena sepertinya mereka
sama-sama kuat?
Melihat anaknya yang baru beranjak dewasa itu bingung, sang Ayah mulai
angkat bicara. Dipegangnya punggung pemuda gagah di depannya. Sambil
tersenyum, ayah berkata, "pemenangnya adalah, yang paling sering kamu beri
makan."
Ayah kembali tersenyum, dan mengambil pancingnya. Lalu, dengan satu hentakan
kuat, di lontarkannya ujung kail itu ke tengah telaga. Tercipta kembali
pusaran-pusaran air yang tampak membesar. Gelombang riak itu kembali menerpa
sayap-sayap angsa putih di tepian telaga.
***
Teman, begitulah. Setiap diri kita, punya dua ekor "singa" yang selalu
bersaing. Keduanya, memang selalu saling menjatuhkan. Mereka berusaha untuk
menjadi pemimpin bagi yang lainnya. Pertarungan diantara mereka, tak pernah
tuntas, karena bisa jadi sering terjadi pergantian pemenang bagi keduanya.
Kalah-menang, dalam persaingan macam ini, layaknya mata koin yang selalu
berganti-ganti. Dan kita sering dibuat bingung, sebab kedua kekuatan
baik-buruk ini terlihat sama kuatnya.
Tapi, siapakah pemenangnya saat ini dalam diri Anda? Singa yang kokoh,
dengan bulu-bulu yang teratur, dan gerakan yang mantap serta pasti, ataukah
singa yang sibuk menerjang kesana kemari, dengan bulu-bulu yang koyak, dan
seringai yang menakutkan? Lalu, singa macam apa yang kini sedang menguasai
Anda, "singa" yang optimis, pantang menyerah, tekun, sabar, damai, rendah
hati, dan toleran, ataukah "singa" yang pesimis, tertekan, mudah menyerah,
sombong dan penuh dengki?
Saya percaya, kita sendirilah yang menentukan kemenangan bagi kedua
singa-singa itu. Jika kita sering memberi "makan" pada singa yang damai
tadi, maka imbalan kebaikanlah yang akan kita dapatkan. Jika kita terbiasa
untuk memupuk optimis dan pantang menyerah, maka "singa" keberhasilan lah
yang akan kita peroleh. Namun sebaliknya, jika setiap saat kita memendam
marah, menebar prasangka dan dengki, bersikap tak sabar dan mudah menyerah,
maka, akan jelaslah "singa" macam apa yang jadi pemenangnya.
Teman, biarkan "singa-singa" penuh semangat hadir dalam jiwa Anda. Rawatlah
singa-singa itu dengan keluhuran budi, dan kebersihan nurani. Susunlah
bulu-bulu kedamaiannya, cermati terus rahang persahabatannya. Perkuat
punggung optimisnya, dan pertajam selalu kuku-kuku kesabaran miliknya.
Biarkan singa ini yang jadi pemenang.
Namun, jangan biarkan "singa-singa" pemarah menguasai pikiran Anda. Jangan
pernah berikan kesempatan bagi kedengkian itu untuk membesar, dan menjadi
penghalang keberhasilan. Jangan biarkan rasa pesimis, jiwa yang gundah, tak
sabar dan rendah diri menjadi pemimpin bagi Anda.
Saya percaya, imbalan yang kita peroleh, adalah gambaran dari apa yang kita
berikan hari ini. Lalu, singa mana yang akan Anda beri makan hari ini?
Kamis, Desember 04, 2008
Pematung Raja
Pematung Raja
Suatu ketika, hiduplah seorang pematung. Pematung ini, bekerja pada seorang raja
yang masyhur dengan tanah kekuasaannya. Wilayah pemerintahannya sangatlah luas.
Hal itu membuat siapapun yang mengenalnya, menaruh hormat pada raja ini.
Sang pematung, sudah lama sekali bekerja pada raja ini. Tugasnya adalah membuat
patung-patung yang diletakkan menghiasi taman-taman istana. Pahatannya indah,
karena itulah, ia menjadi kepercayaan raja itu sejak lama. Ada banyak raja-raja
sahabat yang mengagumi keindahan pahatannya saat mengunjungi taman istana.
Suatu hari, sang raja mempunyai rencana besar. Baginda ingin membuat patung dari
seluruh keluarga dan pembantu-pembantu terbaiknya. Jumlahnya cukup banyak, ada
100 buah. Patung-patung keluarga raja akan di letakkan di tengah taman istana,
sementara patung prajurit dan pembantunya akan di letakkan di sekeliling taman.
Baginda ingin, patung prajurit itu tampak sedang melindungi dirinya.
Sang pematung pun mulai bekerja keras, siang dan malam. Beberapa bulan kemudian,
tugas itu hampir selesai. Sang Raja kemudian datang memeriksa tugas yang di
perintahkannya. “Bagus. Bagus sekali, ujar sang Raja. “Sebelum aku lupa, buatlah
juga patung dirimu sendiri, untuk melengkapi monumen ini.”
Mendengar perintah itu, pematung ini pun mulai bekerja kembali. Setelah beberapa
lama, ia pun selesai membuat patung dirinya sendiri. Namun sayang, pahatannya
tak halus. Sisi-sisinya pun kasar tampak tak dipoles dengan rapi. Ia berpikir,
untuk apa membuat patung yang bagus, kalau hanya untuk di letakkan di luar
taman. “Patung itu akan lebih sering terkena hujan dan panas,” ucapnya dalam
hati, pasti, akan cepat rusak.”
Waktu yang dimintapun telah usai. Sang raja kembali datang, untuk melihat
pekerjaan pematung. Ia pun puas. Namun, ada satu hal kecil yang menarik
perhatiannya. “Mengapa patung dirimu tak sehalus patung diriku? Padahal, aku
ingin sekali meletakkan patung dirimu di dekat patungku. Kalau ini yang terjadi,
tentu aku akan membatalkannya, dan menempatkan mu bersama patung prajurit yang
lain di depan sana.”
Menyesal dengan perrbuatannya, sang pematung hanya bisa pasrah. Patung dirinya,
hanya bisa hadir di depan, terkena panas dan hujan, seperti harapan yang
dimilikinya.
***
Teman, seperti apakah kita menghargai diri sendiri? Seperti apakah kita
bercermin pada diri kita? Bagaimanakah kita menempatkan kebanggaan atas diri
kita? Ada kalanya memang, ada orang-orang yang selalu pesimis dengan dirinya
sendiri. Mereka, kerap memandang rendah kemuliaan yang mereka miliki.
Namun, apakah kita mau dimasukkan ke dalam bagian itu. Saya percaya, tak banyak
orang yang menghendaki dirinya mau dimasukkan sebagai orang yang pesimis. Kita
akan lebih suka menjadi orang yang bernilai lebih. Sebab, Allah pun menciptakan
kita tak dengan cara yang main-main. Allah menciptakan kita dengan kemuliaan
mahluk yang sempurna.
Dan teman, sesungguhnya, kita sedang memahat patung diri kita saat ini. Tapi
patung seperti apakah yang sedang kita buat? Patung yang kasar, yang tak halus
pahatannya, ataukah patung yang indah, yang memancarkan kemuliaan-Nya? Patung
yang bernilai mahal, yang menjadi hiasan terindah, atau patung yang berharga
murah yang tak layak diletakkan di tempat utama?
Memang, tak ada yang tahu akan ditempatkan dimana patung-patung diri kita kelak.
Karena hanya Allah lah Maha Tahu. Karenanya, bentuklah patung-patung itu dengan
indah. Pahatlah dengan halus, agar kita bisa ditempatkan di tempat yang terbaik,
di sisi-Nya. Poleslah setiap sisinya dengan kearifan budi, dan kebijakan hati,
agar memancarkan keindahan. Susuri setiap lekuknya dengan kesabaran, dan
keikhlasan.
Pahatan yang kita torehkan saat ini, akan menentukan tempat kita di akhirat
kelak. Bentuklah "patung" diri Anda dengan indah!
Pasir dan Pahatan Batu
Suatu ketika, ada sepasang pengembara yang sedang melakukan perjalanan. Mereka,
kini tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang,
hanya ada horison pasir yang terbentang.
Tapak-tapak kaki yang ada di belakang mereka, membentuk jejak-jejak yang tak
putus. Susunannya meliuk-liuk, tampak seperti kurva garis, yang berujung di
setiap langkah yang mereka lalui. Sesekali debu-debu pasir menerpa tubuh, dan
membuat mereka berjalan merunduk, agar terhindar dari badai kecil itu.
Tiba-tiba, ada sebuah badai besar yang datang. Hembusannya sangat kuat, membuat
tubuh mereka bergoyang, dan limbung. Terpaan yang begitu kuat segera membuat
ujung-ujung pakaian mereka berkibar-kibar, mengelepak, dan mendorong tubuh
mereka ke arah belakang. Untunglah, mereka saling berpegangan, dan dapat
bertahan dari badai itu.
Namun, ada musibah lain yang menimpa mereka. Bekal minum mereka terbuka, dan
terbawa angin yang kuat tadi. “Ah..kita akan mati kehausan disini, “ ujar
seorang pengembara. Lelah bertahan seusai badai, keduanya duduk tercenung,
menyesalkan hilangnya bekal minum mereka. Seseorang dari mereka, tampak menulis
sesuatu di atas pasir dengan ujung jarinya. “Kami sedih. Kami kehilangan bekal
minuman kami di tempat ini.” Pengembara yang lain tampak bingung, namun tetap
membereskan perlengkapannya.
Badai sudah benar-benar usai, dan keduanya pun melanjutkan perjalanan. Setelah
lama menyusuri padang, mereka melihat sebuah oasis di kejauhan. “Kita selamat,
seru seorang pengembara, “lihat, ada air disana.” Mereka setengah berlari ke
arah air itu. Untunglah, itu bukan fatamorgana.
Tampaklah sebuah kolam kecil dengan air yang cukup banyak. Keduanya pun segera
minum sepuas-puasnya, dan mengambil sisanya untuk bekal perjalanan. Sambil
beristirahat, pengembara yang sama mulai menulis sesuatu. Pisau yang
digenggamnya digunakan untuk memahat di atas sebuah batu. “Kami bahagia. Kami
dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.”
Merasa bingung dengan tingkah sahabatnya, pengembara yang lain mulai bertanya.
“Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi engkau menulis di atas
pasir saat kita kehilangan bekal minum? Tersenyum mendengar pertanyaan itu, sang
sahabat mulai menjawab. “Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu dalam
pasir. Biarkan angin keikhlasan akan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan
catatan itu akan hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya
lenyap dan pupus.”
“Namun, ingatlah, saat kita mendapat kebahagiaan, pahatlah kemuliaan itu dalam
batu, agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan
kesenangan itu dalam kerasnya batu, agar tak ada sesuatu yang dapat
menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya
tersimpan.”
Keduanya kembali tersenyum. Bekal minuman telah cukup, dan merekapun kembali
meneruskan perjalanan mereka.
***
Teman, ada kalanya memang, kita menemui kesedihan dan kebahagiaan. Ada kalanya,
keduanya hadir berselang-seling, saling berganti mewarnai panjangnya jalan hidup
ini. Keduanya, saya yakin, memberikan kita semacam memori yang kerap membuat
kita terkenang.
Namun, adakah kita mau bersikap seperti pengembara tadi? Maukah kita menjadi
seorang yang pemaaf, yang mampu untuk menuliskan setiap kesedihan dalam pasir,
agar angin keikhlasan mampu membawanya pergi? Maukah kita menjadi seorang yang
tegar, yang mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbangnya angin
ketulusan?
Dan teman, cobalah pula untuk selalu mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan
yang kita miliki. Simpanlah semua itu dalam kekokohan hati kita, agar tak ada
apapun yang mampu menghapusnya. Torehlah kenangan kebahagiaan itu, agar tak ada
angin kesedihan yang mampu melenyapkannya.
Saya yakin, angin kebahagiaan dan keikhalasan, akan mampu menggantikan tulisan
kesedihan kita di atas pasir kesusahan. Sementara, pahatan kebahagiaan kita,
akan selalu terkenang dan membuat kita optimis dalam menjalani panjangnya hidup
ini.
Jendela Rumah Sakit
Jendela Rumah Sakit
Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar
rumah sakit. Seorang di antaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya
duduk di tempat tidur selama satu jam di setiap sore untuk mengosongkan cairan
dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela
satu-satunya yang ada di kamar itu.
Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.
Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan
istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan
tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.
Setiap sore, ketika pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela di
perbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat di luar
jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, pria ke dua merasa
begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan
dan warna-warna indah yang ada di luar sana.
"Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa
berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan.
Beberapa pasangan berjalan bergandengan di tengah taman yang dipenuhi dengan
berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman
itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja
yang indah."
Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detil, sedangkan
pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan
pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya
di rumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya
bertambah.
Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk di dekat jendela menceritakan tentang
parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang ke dua tidak dapat
mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata
pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah.
Begitulah seterusnya, dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlalu.
Suatu pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati
ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan
tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain
untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada
perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat
itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatu ya.
Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria tadi seorang diri dalam kamar.
Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia
ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya,
akhirnya ia bisa melihat sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya
tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di samping tempat
tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata, jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK
KOSONG!!!
Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang
sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang luar biasa
indah di balik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa sesungguhnya pria tadi
adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun.
"Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup," kata perawat itu.
(Source Unknown)
***
Teman, saya percaya, setiap kata selalu bermakna bagi setiap orang yang
mendengarnya. Setiap kata, adalah layaknya pemicu, yang mampu menelisik sisi
terdalam hati manusia, dan membuat kita melakukan sesuatu. Kata-kata, akan
selalu memacu dan memicu kita untuk menggerakkan setiap anggota tubuh kita,
dalam berpikir, dan bertindak.
Saya juga percaya, dalam kata-kata, tersimpan kekuatan yang sangat kuat. Dan
kita telah sama-sama melihatnya dalam cerita tadi. Kekuatan kata-kata, akan
selalu hadir pada kita yang percaya.
Saya percaya, kata-kata yang santun, sopan, penuh dengan motivasi, bernilai
dukungan, memberikan kontribusi positif dalam setiap langkah manusia.
Ujaran-ujaran yang bersemangat, tutur kata yang membangun, selalu menghadirkan
sisi terbaik dalam hidup kita. Ada hal-hal yang mempesona saat kita mampu
memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Menyampaikan keburukan, sebanding
dengan setengah kemuraman, namun, menyampaikan kebahagiaan akan melipatgandakan
kebahagiaan itu sendiri.
Dan akhirnya saya percaya, kita, saya dan juga Anda, mampu untuk melakukan itu
semua. Menyampaikan setiap ujaran dengan santun, dengan sopan, akan selalu lebih
baik daripada menyampaikannya dengan ketus, gerutu, atau dengan kesal.
Sampaikanlah semua itu dengan bijak, dengan santun. Saya percaya kita bisa.
Elang
Elang
Suatu ketika, di sebuah lereng, tersebutlah seonggok sarang Elang. Di dalamnya terdapat 6 butir telur yang sedang dierami induknya. Suatu hari, terjadi sebuah gempa kecil dan mengakibatkan sebutir telur mengelinding ke bawah. Namun, induk Elang tak mengetahui hal itu. Untunglah, telur itu kuat, sehingga kemudian benda itu malah masuk ke dalam sebuah sangkar ayam. Seekor induk ayam yang sedang mengeram, lalu malah memasukkan telur itu ke dalam buaian bersama telur-telur ayam lainnya.
Beberapa saat kemudian, menetaslah telur itu, dan keluarlah seekor anak Elang yang gagah. Namun, sayangnya, ia dilahirkan di tengah keluarga ayam. Lama kemudian Elang kecil itu, tumbuh bersama anak-anak ayam lainnya. Dan si Elang kecil itupun percaya bahwa ia adalah seekor anak ayam. Ia juga mencintai sangkar dan induk ayam, namun, ada keinginan lain di hati kecilnya.
Elang kecil itu, suatu ketika, melihat elang-elang besar yang sedang mengepakkan sayapnya yang indah di angkasa. Ia kagum sekali dengan kegagahan mereka. "Oh,"...Elang kecil itu memekik, "Andai saja, aku bisa terbang seperti burung-burung gagah itu." katanya sambil menatap langit. Anak-anak ayam lain tertawa mencericit. "Ha ha ha...kamu tak akan bisa terbang bersama mereka, " ujar seekor anak ayam, "Kamu adalah ayam, dan ayam tak bisa terbang!" Hahahaha..... Tawa anak-anak ayam itu kembali memenuhi telinga si Elang kecil. "Oh, andai saja..." ujarnya pelan. Elang kecil itu kembali menatap langit. Menatap keluarga yang sebenarnya di atas sana.
Setiap waktu, saat Elang itu mengungkapkan impiannya, ia selalu diberi nasehat, bahwa itu adalah hal yang mustahil yang bisa dilakukannya. Dan hal itulah yang terus dipelajari oleh si Elang, bahwa, ia tak mungkin bisa terbang, dan mengepakkan sayapnya di angkasa. Lama kemudian, si Elang berhenti bermimpi, dan melanjutkan hidupnya sebagai ayam biasa. Akhirnya, setelah sekian lama hidup menderita, dikekang dengan semua impiannya, si Elang pun mati.
--Author Unknown
***
Teman, ini adalah sebuah amsal yang baik tentang kehidupan. Ini, adalah sebuah permisalan yang indah tentang makna harapan dan impian-impian. Ada banyak sekali asa dan hasrat, yang akhirnya pupus, karena, hilangnya rasa percaya dalam kalbu. Ada banyak sekali harapan-harapan, yang hilang, hanya karena kita tak percaya dengan semua kemampuan yang kita miliki.
Teman, kita semua adalah Elang-Elang kecil, yang --bisa jadi-- lahir dalam buaian ayam. Kita semua adalah manusia-manusia hebat, yang punya banyak potensi. Allah berikan banyak anugrah buat kita, namun, seringkali, rasa percaya diri itu begitu kecil, tak mampu membuat kita yakin, bahwa kita mampu, bahwa kita bisa. Allah berikan banyak sekali rahmat, namun seringkali itu semua itu tak membuat kita makin bersyukur, dan mau menjadikannya sebagai pendorong dalam hati.
Teman, kita akan menjadi apa yang kita percayai. Jadi, saat kita bermimpi untuk menjadi "elang", teruskan impian tadi, dan coba, abaikan dulu nasehat "ayam-ayam" itu. Karena siapa tahu, kita adalah calon "elang-elang" yang akan lahir dan mengepakkan sayap dengan indah di angkasa.
Teman, selamat mencoba. Allah menyertaimu.
Memcahkan Rekor
Setiap orang yang berhasrat besar untuk menjadi manusia yang lebih baik perlu merenungkan kata-kata Stuart B. Johnson berikut
ini: “Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang lain, tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini.”
Dalam era hiper kompetisi dewasa ini, bagaimana kita memahami kalimat yang demikian itu? Bukankah kita harus bersaing dengan orang lain, dengan siapa saja yang berusaha mengalahkan kita? Jika demikian cara berpikir kita, maka cerita yang dikirim seorang kawan berikut ini mungkin menarik untuk menjadi bahan renungan.
LOMPATAN SI BELALANG…. .
Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi di antara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah
dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi ke sana.
Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan
sombongnya.
Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”
“Baik,” jawab si anjing. “Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.”
Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.
Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, “Nah, belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah.”
“Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan
tantangan kedua?”
“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.
Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya.”
Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi
tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian
lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.
“Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing.
“Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan
yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?”
Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. Ketika masih berumur awal 30-an tahun, betapa sering saya membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain. Membandingkan antara profesi saya dengan profesi si Anu, antara pendapatan saya dan pendapatan si Banu, antara mobil saya dengan mobil si Canu, antara kesuksesan saya dengan kesuksesan si Danu, dan seterusnya. Hasilnya? Ada kalanya muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, yang menganiaya rasa syukur atas kehidupan. Namun kala yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan
berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain (pesaing?).
Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan prestasi saya tahun kemarin. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus lebih sehat dari tahun kemarin; pendapatan dan sumbangan tahun ini diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan tahun ini ditingkatkan dari tahun silam; relasi dan tali silahturahmi juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata lebih mampu mengatasi penyakit-penyakit seperti iri hati, dengki, dan rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata
menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan.
Mungkin benar kata orang bijak dulu: kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri sendiri. Setujukah?
Rabu, Desember 03, 2008
Garam dan Telaga
Garam dan Telaga
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.